Senin, 05 Maret 2012

Sebuah Trauma Cerpen

"Sebuah Trauma Cerpen" adalah buah pena dari Pak guru Warjono, S.Pd.SD dan pernah diterbitkan di majalah krida tahun 1999 kini di postkan diblog SD untuk mengisi postingan Blog Sederhana milik SDN Harjasari 02 Kecamatan Suradadi Kab. Tegal
SEBUAH TRAUMA
Tidak seperti biasanya, sehabis jalan-jalan pagi, aku tidak mendapati segelas teh manis di atas meja. Aku lal membuka pintu kamar. Kulihat istriku masih memejamkan matanya di samping si kecil. Kupikir istriku hanya pura-putra tidur. Sebab sehabis shalat subuh biasanya ia langsung bekerja menyediakan keperluanku sebelum aku berangkat mengajar. Namun pagi ini adat istriku lain dari kebiasaannya. Tampaknya kemarahannya semalam belum juga hilang.
Aku lalu teringat percakapan semalam sebelum kami tidur. “Kang, ini kesempatan baik buat kita untuk menyegarkan pikiran, agar kita tidak jenuh dengan rutinitas yang suntuk. Banyak teman yang ikut plesiran ke Pantai Pangandaran. Yu Tini dengan Mas Slamet serta dua anaknya. Lalu … Mas Joko dengan Yu Harti serta ketiga anaknya juga ikut. Mereka kan keluarga guru. Kalau kita ikut kan makin ramai? Nah, kalau kita tidak ikut kali ini lalu kapan Kakang akan menyenangkan hati istrimu? Apa kakang tidak ingat, sejak kita menikah dua tahun yang lalu, kapan sih Kakang pernah mengajak aku plesiran? Belum pernah, kan?” kalimat-kalimat itu meluncur dengan derasnya dari mulut istriku. Nadanya menuntut dan menggugat.

Untuk sementara waktu aku hanya diam sambil memikirkan ucapan istriku barusan. Dengan wajah yang masih tenang kuperhatikan kedua bola mata istriku. Aku seperti melihat kilatan mata kucing Anggota yang tengah mengintai mangsa di bawah siraman cahaya lampu lsitrik. Aku menghela napas sejenak, lalu berkata,” Nur, kupikir nggak ada seoran gsuami yang tidak ingin menyenangkan hati istrinya senang dan bahagia. Itulah sebabnya seorang suami yang baik akan bekerja keras untuk membahagiakan istri dan anak-anaknya” rombongan piknik ker Pangandaran saja kau menolak”, ungkap istriku ketus. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar tanpa menghiraukan tatapanku.
“Dari dulu aku kan sudah bilang. Kebutuhan kita bulan ini cukup besar. Kamu kan tahu, beberapa hari yang lalu Mas Harno sudah bolak-balik ke sini untuk menagih uang yang kita pinjam waktu Desi dirawat di rumah sakit. Di samping itu, masih dibebani hutang koperasi waktu kamu minta mesin jahit. Nah, mestinya kau tahu keadaan kita”.
“Tapi aku sudah bilang pada Kakang. Pinjam uang BP3 dulu di sekolah. Kan bisa?
“Bisa sih bisa. Tapi aku malu pada teman-teman. Sebab sejak dulu akulah yang sering pinjam uang pada bendahara”.
“Pinjam uang di SD bagi guru kan wajar tidak dilarang?” sanggah istriku sengit.
“Benar katamu. Tapi orang banyak hutang itu nggak enak. Pikiran selalu gelisah. Sulit tidur. Nah, aku ingin bebas dari beban itu”.
“Mana mungkin manusia bebas dari hutang. Jutawan saja banyak hutangnya, apalagi kita yang dari asalnya saja sudah melarat”.
“Heh, Nur! Hati-hati kamu bicara. Sepertinya kamu kecewa dengan keadaan seperti ini. Mestinya kamu harus bersyukur dengan rizki yang telah diberikan Tuhan pada kita.
Lihat orang-orang yang ekonominya ada di bawah kita. Coba bandingkan mereka dengan kita. Mereka harus bekerja keras setiap hari untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Kalau tidak bekerja, tentu keluarga mereka akan kekurangan. Tapi kita ? bekerja atau tidak, setiap bulan pasti mendapatkan gaji dan beras dari Pemerintah”.
“Tidak usah mengalihakn masalah. Pokoknya kita harus ikut piknik. Kalau tidak, tak usahlah kakang menganggap aku sebagai istrimu”, katanya merajuk seraya membalikkan tubuhnya membelakangi aku.
Lama-kelamaan hatiku menjadi kesal juga oleh ucapan dan tingkah laku Nuraeni. “Nur, Nur. Kamu ini kayak anak kecil minta mainan saja. Apa tidak ada waktu lain untuk piknik? Bukankah jalan yang akan kita tempuh maish panjang?” bujukku dengan nada tetap lunak sambil berusaha menekan rasa kesal di rongga dada.
“Sudah! Jangan bicara panjang lebar lagi. Aku sudah ngantuk!” bentaknya sambil menutupi tubuhnya dengan kain.
Aku pun lalu diam sambil berusaha memejamkan mata. Namun untuk beberapa waktu lamanya usaha ku sia-sia saja. Kata-kata istriku masih terngiang-ngiang. Ia memang sangat kecewa karena aku tidak mau meluluskan permintaanya. Namun harus bagaimana lagi. Aku memang tidak berselera dnegna acara piknik.
Disamping ongkos yang kurang memungkinkan, juga karena jiwaku selalu dihantui peristiwa tragis yang pernah menimpa Sugiyono dan Sartono.
Kedua orang temanku itu tewas jatuh ke jurang bersama tidak kawan lain waktu rombongan SMP kami piknik kegu Gua Lawa, karen abus yang kami tumpangi menabrak pohon besar yang berada di pinggir jalan. Untung aku selamat, hanya luka kecil di tangan dan kami tertimpa pecahan kaca. Aku ngeri melihat mayat Sugiyono yang rusak berat. Kepalanya pecah, tangan kanan dan kedua kakinya patah sekujur tubuhnya bermandikan darah.
Lalu, waktus aku masih duduk di kelas II SPG, temant-eman sekelas sepakat tour ke Borobudur. Aku ikut. Namun malang, bus carteran yang kami tumpangi bertabrakan dengan truk gandeng. Kedua sopirnya tewas seketika, juga Triana yang duduk persis di belakang sopir. Muka Triana hancur berantakan. Sedangkan aku dan teman-temanku banyak yang luka parah. Aku sempat pingsan dengan luka-luka di sekujur tubuh. Sejak kejadian itu aku mengalami trauma berkepanjangan sampai saat ini. Aku begitu takut dengan kendaraan roda empat yang bernama bus. Kalau aku ingat bus, maka yang tercetak dalam benakku adalah darah dan kematian.
Dan jujur saja, sebenarnya trauma itulah yang mendominasi pikiranku untuk menolak permintaan istriku. Aku takut peristiwa tragis itu terulang lagi, lalu nyata anak dan istriku terenggut. Padahal aku begitu mencintai mereka. Namun alasan itu tidak kukatakan pada istriku, karena malu dikatakan sebagai laki-laki penakut dan tidak rasional.
Aku hendak memasukkan gula dan teh ke dalam gelas, ketika tiba-tiba terdnegar tangisan Desai dalam kamar. Aku berusaha masuk kamar karena tangis Desi masih keras. Agaknya Nur sengaja tidak mendiamkan Desi. Namun sebelum aku masuk sudah keduluan oleh ibu mertuaku.
Sambil menuang air panas ke dalam gelas, aku mendengar ibu mengomel pada Nur, setelah Desi berhenti menangis. Aku menguping omelan mertuaku. Dan ibu sangat mencela sikap Nur yang kekanak-kanakan. “Masa hanya karena tidak mau piknik saja kamu ngambek pada suamimu. Kamu jangan memaksakan diri, sementara kebutuhanmu kian meningkat. Lagipula katanya kamu mau giat menabung untuk membangun rumah sendiri, biar kamu tenang nanti”, aku tersenyum dan memuji sikap mertuaku dalam hati. Aku bangga punya mertua yang penuh pengertian dan kasih sayang itu.
Aku tidak tahu persis, apakah nasihat itu meresap ke dalam sanubari Nur atau tidak. Yang jelas Nur tidak bicara apa-apa ketika kuliah singkat itu berlangsung. Dan kupikir Nur akan segera bangkit dari pembaringan lantas buru-buru minta maaf padaku, begitu kuliah singkat ibu selesai. Tapi sampai aku selesai berdandan, Nur masih tetap enak-enakan di atas kasur tanpa memperdulikan aku sedikit pun. Tentu saja aku sewot dibuatnya. Namun aku tetap berusaha sabar.
“Nggak sarapan dulu, Han?” tegur mertuaku setelah aku mencium kedua pipi Desi yang telah dipaesi simbahnya.
“Nanti sajalah di kantin sekolah”, jawabku datar.
Tentu saja Mul, sahabat dekat sekaligus rekan seprofesiku, kaget berat melihat aku sarapan pagi di kantin.
“Heh semalam aku mimpi apa sih? Tumben benar pagi ini kau sarapan di kantin sekolah. Semalam habis berantem ya sama Nur? Wuah…. jangan begitu, Han. Nggak baik seorang guru ribut sama istri. Kalau ada tetangga yang usil kan kamu sendiriyang malu”, harus kuakui kehebatan Mul dalam menebak peristiwa yang terjadi semalam antara aku dan Nuraeni. Aku sendiri heran, dari sudut pandang mana makhluk berperawakan pendek gendut ini mahir dalam bidang tebak-menebak, kalau tidak boleh dikatakan meramal. Mungkin saja dia punya indra keenam atau semacam intuisi yang kuat yang tidak aku miliki. Inilah kehebatan Mul.
“Ah, tebakanmu ngawur. Aku nggak apa-apa kok dengan Nur. Dia lagi sakit hari ini dan tidak bisa menyediakan sarapan untukku”, kataku berbohong.
“Kamu pasti bohong! Kalau nanti Nur benar-benar sakit baru tahu rasa kamu”, Mul menampakkan mimik serius. Tatapan matanya yang tajam bagai hendak menelan tubuhku bulat-bulat. “Kenapa kau tak berterus terang saja padaku ? aku kan se-es dekatmu sejak zaman baheula?” lanjutnya berseloroh kembali.
Akhirnya aku berterus terang pada Mul. Kukatakan sejujurnya kejadian semalam antara aku dan Nur. Tak lupa kukatakan trauma yang selalu menghantui jiwaku, sehingga terpaksa aku tidak meluluskan permintaan istriku. Dan tak disangka sama sekali, Mul sangat mendukung sikapku.
“Bagus! Tindakan yang kauambil sudah tepat. Kita memang tidak boleh melakukan perbuatan yang ditentang oleh jiwa kita sendiri. Harus kita jauhi perbuatan yang dirasa akan membawa bencana. Dan kalau boleh aku meramal, batinku mengatakan bahwa ap ayang kau khawatirkan itu akan benar-benar terjadi nanti. Makanya aku setuju sekali kau tidak mengabulkan Nur ikut piknik” tutur Mul bagai seorang paranormal yang handal layaknya.
Nuraeni benar-benar sudah keterlaluan. Dia minggat bersama Desi tanpa meninggalkan pesan apa-apa, ketika aku masih berada di SD. Mulanya aku hendak mencarinya, namun mertuaku, yang juga tidak tahu kepergian Nur, mencegah niatku.
“Kau tidak usah repot-repot mencari dia. Tenang sajalah di rumah. Dia pasti akan pulang sendiri, karena dialah yang bersalah”, ujar mertuaku tegas.
“Tapi, Desi bagaimana, Bu?” tanyaku khawatir.
“Sudahlah! Kau tidak usah mengkhawatirkan anakmu. Nur pasti akan menjaganya dengan baik”.
Meski mertuaku berusaha menenangkan hatiku, namun batinku tetap galau. Berbagai pertanyaan dan dugaan melintas simpang siur dalam benakku. Apalagi ketika azan maghrib berkumandang Nur tidak juga muncul bersama Desi, kecemasanku makin menjadi-jadi. Sekali lagi, aku sudah hendak mengayuh pedal sepeda untuk mencari Nur berada, ketika terdengar hentakan keras dari ibu mertuaku, melarangku pergi. Dan dengan rasa terpaksa aku patuhi ucapannya. Aku mengunci diri dalam kamar. Jam dua malam mataku baru bisa terpejam.
Jam 09.00 bus wisata yang dicarter ke Pantai Pangandaran mulai meninggalkan desaku. Sebelumnya aku sengaja datang ke tempat bus itu menunggu sambil mencari-cari Nur barangkali dia nekat ikut piknik tanpa aku. Tapi Nur dan Desi memang tidak ada di tempat itu.
Aku lalu memutuskan untuk mencari Nur tanpa sepengetahuan mertuaku. Akan tetapi sampai matahari tepat berada di atas kepala, yang kucari tidak juga kutemukan. Padahal segenap penjuru kampung rasanya sudah kejalajahi. Setiap orang yang kenal dekat dengan istriku sudah kutanyai. Aku menjadi semakin cemas, bingung, sekaligus pusing tujuh keliling. Tapi tampaknya mertuaku tetap tenang-tenang saja.
Sementara hatiku mencemaskan keberadaan Nur dan Desi, jam dinding di atas tempat dudukku melenggang dengan tenang. Pukul 14.38. Mendadak ada keinginan untuk dolan ke rumah Mul. Setelah berdandan dan pamitan sama, ibu, aku segera mengayuh sepeda dengan setengah tergesa menuju ke desa Mul.
“Heh, kenapa mukamu berkabut, sobat? Apakah ad aperang saudara di desamu?” sapa Mul padaku, begitu kepalaku nongol ke dalam ruangtamunya. Kulihat ia tengah sibuk menulis artikel pendidikan yang sering ia kirim ke media massa.
Aku langsung menghempaskan tubuh di atas kursi, tidak jauh dari meja ketiknya, “Nur tidak ada di rumah. Ia mengingat bersama Desi hari Sabtu kemarin,” ungkapku serius tanpa memandang wajah Mul yang terus-menerus menatapku dengan tenang.
“Kau jangan gusar, Han. Kau tenang sajalah disini bersamaku. Istrimu tidak kemana-mana. Sejak kemarin ia ada di sini bersama Ning”.
“Kamu jangan main-main Mul. Aku sedang bicara serius. Kalau tidak percaya, lihat Sky Way biru itu!” Mul menuding ke arah sandal japit ini milik Nur, kataku dalam hati dengan perasaan heran.
“Kenapa kau tidak memberi tahukannya padaku sejak kemarin?” bola mataku membulat, menatap liar ke arah Mul.
Mul terkekeh sejenak melihat mataku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. “Sabar, sobat. Aku sendiri tidak tahu menahu kedatangan Nur. Sebab waktu aku pulang dari SD ia sudah ada disini dengan Desi. Dan ia meminta agar aku tidak memberitahukan kedatangannya padamu”, jelas Mul.
“Sekarang ia berada di mana? Tanyaku lunak.
“Ia tengah jalan-jalan ke Pantai Alam Indah bersama Ning dan Purwanto. Sebentar lagi tentu mereka pulang”.
“Kenapa kau tidak ikut?”
“Maaf, lusa aku harus segera mengirimkan artikel ini. Di samping itu Pur dan pacarnya kebetulan akan ke Pantai Alam Indah. Jadi sekalian saja kuikutkan mereka bersama Pur”.
Benar saja. Tak lama kemudian mereka pulang. Hatiku lega melihat Nur dan Desi pulagn dengan selamat. Melihat aku telah berada di rumah Mul, istriku tampak terkejut. Tapi … kulihat wajahnya tak sebuas kemarin. Justru sebaliknya, mata kucing Anggota itu tampak memudar. Ada kabuat tebal menghiasi wajahnya. Ada sebesit rasa salah membayang jelas di pelupuk matanya.
“Maafkan aku, Kang”, ucap Nur pilu setelah ia ad adidekatku. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib kita seandainya kemarin kita jadi ke Pengandaran”.
“Apa yang terjadi?’ mulutku terngangga.
“Tadi kami mampir ke Pasar Pagi. Orang-orang ramai membicarakan musibah yang menimpa bus wisata dari Tegal di dekat Pantai Pangandaran. Bus wisata itu jatuh ke jurang, berusaha menghindaris tabrakan dengan bus lain dari arah yang berlawanan. Kabarnya banyak yang tewas”,  Purwanto memberi penjelasan padaku.
Mendengarkan penjelasan Pur, mulutku kian menganga lebar dan rasa heranku kian menjadi-jadi. Tapi bukan lagi heran karena tingkah laku Nur, melainkan karena untuk kesekian kalinya ramalan Mul terbukti. Aku makin kagum pada Mul.
Meski trauma didadaku kian mengental, tapi aku bersyukur, karena dengan kejadian ini akhirnya Nur mau menyadari kekeliruannya. Ah, mudah-mudahan di waktu selanjutnya Nur akan terlalu memaksakan keinginan hatinya, doaku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar