(2) Aspek apakah yang harus ada dalam
sastra? Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu
keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang
mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra
itu kurang baik.
(3) Ada berapa jenis sastra?
Sastra terdiri atas tiga jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama.
(4) Apakah puisi itu? Puisi
ialah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga
mampu mempertajam kesadaran orang akan suatu penelama ndan membangkitkan
tanggapan khusus lewat bunyi, irama, dan makna khusus. Puisi mencakupi satuan
yang lebih kecil, seperti sajak, pantun, dan balada.
(5) Apakah prosa? Prosa ialah
jenis sastra yang dibedakan dari puisi karean tidak terlalu terikat oleh irama,
rima, atau kemerduan bunyi. Bahasa prosa dekat dengan bahasa sehari-hari. Yang
termasuk prosa, antara lain cerita pendek, novel, dan esai.
(6) Apakah drama itu? Drama
ialah jenis sastra dalam bentuk puisi atau prosa yang bertujuan menggambarkan
kehidupan lewat lakuan dan dialog (cakapan) para tokoh. Lazimnya dirancang untuk
pementasan panggung.
(7) Apakah sanjak itu? Istilah
sanjak dihindari pemakaiannya. Sebagai gantinya digunakan istilah
sajak.
(8) Apakah sajak itu? Sajak
ialah karya sastra yang berciri mantra, rima, tanpa rima, ataupun kombinasi
keduanya. Kekhususannya, jika dibandingkan dengan bentuk sastra yang lain,
terletak pada kata-katanya yang topang-menopang dan berjalinan dalam arti dan
irama.
(9) Apakah rima itu? Rima ialah
pengulangan bunyi berselang dalam sajak, baik di dalam larik (baris, leret)
maupun pada akhir larik-larik yang berdekatan. Agar terasa
keindahannya, bunyi yang berima itu ditampilkan dalam tekanan, nada, atau
pemanjangan suara. Jenis rima, antara lain runtun vokal atau
asonansi, purwakanti atau aliterasi, dan rima
sempurna. Contoh: Apa yang terjadi nanti
(10) Apakah manfaat sastra?
Penyair Romawi kuno, Horatius merumuskan manfaat sastra dengan ungkapan yang
padat, yaitu dulce et utile ‘menyenangkan dan bermanfaat”. Menyenangkan
dapat dikaitkan dengan aspek hiburan yang diberikan sastra, sedangkan bermanfaat
dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup yang ditawarkan sastra.
(11) Hiburan apakah yang ditawarkan
sastra? Sastra, antara lain menawarkan humor seperti yng dilihat pad
petikan berikut : Hujan Air hujan turunnya ke cucuran atap Kalau banjir
atapnya yang turun ke air Penderitaan Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu Bersakit-sakit berkepanjangan
(Taufik Ismail) Siapakah pembaca yang tidak tersenyum simpul digelitik humor
sajak ini?
(12) Pengalaman apakah yang ditawarkan
sastra? Sastra, antara lain, menawarkan pengalaman hidup yang dapat
memperluas wawasan pembacanya seperti yang terlihat pada sajak berikut.
TUHAN, KITA BEGITU DEKAT Tuhan, Kita begitu dekat Sebagai api
dengan panas Aku panas dalam apimu Tuhan, Kita begitu dekat Seperti kain dengan
kapas Aku kapas dalam kainmu Tuhan, Kita begitu dekat Seperti angin dan arahnya
Kita begiu dekat Dalam gelap Kini aku nyala Pada lampu padammu (Abdul Hadi)
Penyair Abdul Hadi ingin berbagi pengalaman religiusnya dengan pembacanya. Pada
suatu saat ia begitu dekat dengan Tuhan. Pada saat yang lain ia merasa tidak
berarti di hadapan Tuhan, seperti nyala lampu ketika padam, musnah, hilang, ke
dalam Yang Mahagaib.
Apa Kata Mereka?
Marah Rusli: “Memang kurang baik
membuang yang lama kareana mendapat yang baru. Tetapi ada diantara adat dan
aturan lama itu, yang sesungguhnya baik pada zaman dahulu, tetapi kurang baik
atau tak berguna lagi waktu sekarang ini. Adalah halnya seperti pakaian tatkala
mula-mula dibeli, boleh dan baik dipakai, tetapi makin lama ia makin tua dan
lapuk; akhirnya koyak-koyak, tak dapat dipergunakan lagi… Demikian juga adat
itu, bertukr-tukar menurut zaman. Walaupun tiada sengaja menukarnya, ia kan
berganti juga; sebab tak ada yang tetap. Sekali air pasang, sekali tepian
beralih…” (Siti Nurbaya, Bab XII)
Iwan Simatupang: “Pada setiap
bunuh diri terdapat dua kali ‘korban’ dan dua kali perkataan ‘terdakwa’. Si
korban sekaligus membalas pembunuhan atas dirinya pada saat itu juga, dimana dia
jadinya bertindak sebagai pembunuh. Tegasny, sebagai sang terdakwa baru. Sedang
si terdakwa sekaligus mengalami pembunuhan atas dirinya pasa saat itu juga.
Tegasnya, sang korban baru.” (Ziarah)
Nugroho Notosusantio: “Di dalam
hantaman-hantaman nasib dan dalam gelombang kebinatangan, inti daripada pribadi
kemanusiaan bertunas, berkembang. Mengatasi pikiran, megatasi egoisme, mengatasi
moral. Berkorban adalah sifat manusia yang sangat membedakannya daripada heawn.”
(Hujan Kepagian).
Amir Hamzah: “Tuhanku, suka dan
ria Gelak dan senyum Tepuk dan tari Semuanya lenyap, silam sekali. Gelak
bertukarkan duka Suka bersalinkan ratap Kasih beralih cinta Cinta membawa
wasangka …. Jungjunganku, apatah kekal Apatah tetap Apalah tak bersalin rupa
Apakah baka sepanjang masa …. Bunga layu disinari matahari Makhluk berangkat
menepati janji Hijau langit bertukar mendung Gelombang reda di tepi pantai.
(Buah Rindu)
Chairil Anwar: Gerimis
mempercepat kelam/ ada juga kelepak elang Menyinggung muram, desir lari berenag
Menemu bujuk pangakl akanan. Tidak bergerak dan kini, tanah air tidur, hilang
ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan Menyisir semenanjung, masih pengap
harap Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan (“Senja di Pelabuhan
Kecil”)
Apresiasi
Apresiasi dapat diartikan usaha pengenalan suatu
nilai terhadap nilai yang lebih tinggi. Apresiasi itu merupakan tanggapan
seseorang yang sudah matang an sedang berkembang ke arah penghayatan nilai yang
lebih tinggi sehingga ia mampu melihat dan mengenal nilai dengan tepat dan
menanggapinya dengan hangat dan simpatik. Seseorang yang telah memiliki
apresiasi tidak sekedar yakin bahwa sesuatu yang dikehendaki menurut perhitungan
akalnya, tetapi menghasratkan sesuatu itu-itu benar-benar berdasarkan jawaban
sikap yang penuh kegairahan untuk memilikinya.
Apresiasi Sastra Bertolak dari
pengertian apresiasi seperti dikemukakan di atas, apresiasi sastra dpatdiartikan
sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra yang dapat
menimbulkan kegairahan terhadap sastra itu, serta menciptakan kenikmatan yang
timbul sebagai akibat semua itu. Dalam mengapresiasi sastra, seseorang akan
mengalami sebagian kehidupan yang dialami pengarangnya, yang tertuang dalam
karya ciptanya. Hal ini dapat terjadi karena adanya day empati yang memungkinkan
pembaca terbawa ke dalam suasana dan gerak hati dalam karya itu. Kemampuan
menghayati pengalaman pengarang yang dituliskan dalam karyanya dapat menimbulkan
rasa nikmat pada pembaca. Kenikmatan itu timbul karena pembaca (1) merasa mampu
memahami pengalaman orang lain; (2) merasa pengalamannya bertambah sehingga
dapat menghadapai kehidupan dengan yang lebih baik; (3) merasa kagum akan
kemampuan sastrawan dalam memberikan, memadukan, dan memperjelas makna terhadap
pengalaman yang diolahnya; dan (4) mampu menemukan nilai-nilai estetik dalam
karya itu.
Bahasa dan Susastra
Dalam dunia susastra, kosakata yang digunakan
acapkali tidak dapat dibedakan dari kosakata bahasa sehari-hari. Bahkan, banyak
sastrawan yang memanfaatkan kosakata sehari-hari dalam karya ciptanya, tetapi
dengan memberinya makna yang lebih luas. Dalam susastra, bahasa tidak hanya
digunakan untuk mengungkapkan, baik pengalaman sastrawan itu sendiri maupun
pengalaman orang lain, tetapi juga dipakai untuk menyatakan hasil rekamannya.
Kata-kata atau idiom seperti yang biasa kita jumpai dalam bahas di luar
susastar, ternyata mampu memberikan kenikamatan dan keharuan, di samping adanya
makna ganda. Artinya, selain ada makna yang tersurat juga terkandung makna yang
tersirat. Makna yang tersirat itu sering berfungsi sebagai pesan utama
pengarang. Hal itu dimungkinkan oleh keterampilan pengarang daam memilih kata
yang tepat dan serasi, menyusun kalimat, serta menentukan gaya bahas sehingga
karangannya benar-benar ‘hidup’ dan menarik. Dalam puisi, misalnya, kata
gerimis dan kata batu dapat menghindarkan makan yang
diperluas. Gerimis sering dipakai untuk melukiskan suasana sedih atau
murung dan kata batu sering digunakan untuk melukiskan hilangnya
komunikasi dalam suatu situasi atau untuk menggambarkan teka-teki kehidupan.
Teknik Meresensi Fiksi
Di dalam penilaian cerita fiksi ada lima pokok
yang harus diperhatikan. Pertanyaan berikut apat dijadikan bimbingan resensi
cerita fiksi. (1) Tema a. Apakah tema cerita itu? b. Dapatkah
tema itu diterima sebagai kebenaran umum? (2) Sudut Pandang a.
Dari sudut manakah cerita itu disampaikan? b. Taat asaskah penerapan sudut
pandang itu dalam keseluruhan cerita? (3) Tokoh a. Apakah
penokohannya disajikan secara langsung? b. Apakah pengarang membuatkan rangkuman
tentang sifat tokoh dan menceritakan kepada pembaca serta bagaimana pemikiran
tokoh itu? c. Berapa banyak penokohan itu dilakukan secara langsung melalui
dialog para tokoh, tindakan tokoh, dan reaksi lain terhadap mereka? d. Apakah
tokoh itu bermain secara wajar? e. Apakah yang dikehendaki tokoh itu dan apa
sebabnya? f. Bagaimana hubungan an cara menghubungkan para tokoh dengan tema
cerita? (4) Alur a. Insiden apa yang dipakai untuk melayani
tema cerita? Wajarkah hubungan itu? b. Mengapa insiden itu lebih menonjol
daripada insiden lain? c. Wajar dan hidupkah cara mengungkapkan insiden itu?
(5) Bahasa a. Gaya bahasa apa yang digunakan? b. Wajar, tepa,
dan hidupkah bahasanya?
Penghayatan Karya Sastra
Penulsi kreatif bidang sastra seperti fiksi,
drama, puisi, biografi, dan esai populer, memiliki sejumlah pengalaman yan
hendak disampaikan kepad para pembaca. Sang sastrawan atau pengarang itu ingin
agar pembaca dapat merasakan apa yang telah dirasakannya. Ia ingin agar pembaca
dapat memahami dan menghayati kekuatan fakta dan visi kebenaran seperti yang
telah dilihat dan dirasakannya. Ia mengundang pembaca memasuki pengalaman nyata
dan dunia imajinatifnya, yang diperoleh melalui pengalaman inderanya yang paling
dalam. Pengalaman batin seorang pengarang itu dapat dikatakan suatu karya sastra
jika di dalamnya tercermin keserasian antara keindahan bentuk dan isi. Dalam
karya itu terungkap norma estetik, norma sastra, dan norma moral. Upaya apa yang
harus kita lakukan dalam memahami karya sastra itu? Membaca karya sastra berarti
berusaha menyelami “diri” pengarangnya. Hal itu tentu bergantung pada kemampuan
kita mengartikan makna kalimat serta ungkapan dalam karya sastra itu. Kita harus
berupaya menempatkan diri kita sebagai sastrawan yang menciptakan karya sastra
itu. Jadi, dituntut adanya hubungan timbal-balik antara kita sebagai penikamt
dan penciptanya. Sehubungan dengan konsep itu, kita bertindak seolah-olah
menjadi pribadi sastrawan. Dengan cara itulah, kita dapat dengan mudah
membayangkan kembali situasi yang melatarbelakangi penciptaan serta mudah
merasakan, menghayati, dan mencerna kata demi kata bahasa karya sastra itu.
Penghayatan karya sastra merupakan usaha menghidupkan dalam jiwa kita suatu
pengalaman, sebagaimana sastrawan menghidupkan pengalaman itu melalui
karyanya.
Sosiodrama
Apabila kita mendengar istilah sosiodrama,
seringkali pikiran kita tertuju pada hiburan kesenian. Sebenarnya, sosiodrama
adalah salah satu bentuk kegiatan yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana
pengajaran dengan cara mempergakan masalah dalam situasi tertentu dengan gerak
dan dialog. Agar kita dapat memanfaatkan sosiodrama, di bawah ini disajikan
beberapa tahap yang perlu diperhatikan. Penahapan Tahap-tahap
yang dapat dilakukan dalam pengajaran adalah: (1) Penyampaian situasi dan
masalah (2) Pemeragaan situasi dan masalah, dan (3) Pembahasan situasi dan
masalah Manfaat dalam Pendidikan Manfaat sosiodrama dalam
pendidikan, antara lain sebagai berikut: (1) siswa menyadari keterlibatannya
dalam persoalan hidup; (2) siswa mendapat kesempatan dalam ‘pembentukan watak’
(character building); (3) siswa menyaari nilai-nilai kehidupan yang
perlu bagi dirinya; (4) siswa mampu menghargai pendirian orang lain atau
kelompok lain; (5) siswa terlatih menggunakan bahasa secara baik dan benar; (6)
siswa terlatih berfikir cepat, baik, dan bernalar; (7) siswa terlatih
mengemukakan pendapat di hadapan khalayak.
Penilaian Karangan
Hal apa sajakah yang perlu dinilai dalam sebuah
karangan? Berikut ini contoh lembar penilaian naskah karangan yang memuat
unsur-unsur penilaian.
LEMBAR PENILAIAN
SAYEMBARA MENGARANG
Judul Karangan : Nomor Kode :
Hal apa sajakah yang perlu dinilai dalam sebuah
karangan? Berikut ini contoh lembar penilaian naskah karangan yang memuat
unsur-unsur penilaian. LEMBAR PENILAIAN SAYEMBARA
MENGARANG Judul Karangan : Nomor Kode :
No. | Segi yang Dinilai | |
Isi Karangana. gagasan b. keaslian gagasan c. pengoperasian gagasan d. dukungan data | ||
Bahasa Penyajiana. ketetapan susunan kalimat b. ketepatan pilihan kata c. kesatuan dan kelancaran peralihan paragraf d. kesesuaian gaya dengan tujuan penulisan e. kebenaran penerapan ejaan | ||
Teknik Penulisana. keteraturan urutan gagasan b. kerapian rupa karangan c. kaitan judul dengan isi |
Apakah Tema itu?
Setiap cerita (fiksi) yang baik tidak hanya
berisi perkembangan suatu peristiwa atau kejadian, tetapi juga menyiratkan pokok
pikiran yang akan dikemukakan pengarang kepada pembaca. Itulah yang menjadi
dasar, gagasan, atau tema cerita. Cerita yang tidak mempunyai tema tentu tidak
ada manfaatnya bagi khalayak pembaca. Sebagai pokok persoalan, tema merupakan
sesuatu yang netral. Dalam tema, boleh dikatakanbelum terlihat kecenderungan
pengarang untuk memihak. Oleh karena itu, masalah apa saja dapat dijadikan tema
dalam cerita atau karya susastra. Tema dapat menyangkut idaman remaj, kerukunan
antarumat beragama, kesetiaan, ketakwaan, korupsi, pemanfaatan iaru, atau bahkan
kengerian yang dutimbulkan perang. Cerita dapat menjadi lebih menarik apabila
pokok perbincangan itu baru, hangat, atau bercorak lain daripada yang lain.
Sebagai contoh, “penyandang cacat bawaan tidak selamanya menjadi beban
masyarakat ” dan “kejujuran yang membawa malapetaka”. Dalam penggarapan tema
cerita, akan segera tampak siapa pengarangnya, keluasan pengetahuannya,
kepribadian, atau latar belakang lingkungan dan pendidikannya. Tema yang
bersahaja dapat menjadi cerita yang bermutu apabila diolah demikian rupa oleh
pengarang yang baik. Sebaliknya, tema yang baik bukan jaminan dapat melahirkan
cerita yang bermutu jika pengolahannya tidak didukung oleh kemampuan dan daya
kreativitas pengarang.
Folklor
Apakah folklor? Benarkah pendapat orang
yang menyatakan bahwa folklor itu sesuatu yang kuno dan, karena itu, sepatu yang
dumuseumkan? Folklor terambil dari isilah folklore paduan dari
bentuk asal folk dan lore. Folk dapat diartikan
‘rakyat’, bangsa, atau ‘kelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial
dan kebudayaan’. Tegasnya, penanda ini dapat berupa kesamaan bahasa, mata
pencaharian, kepercayan, warna kulit, dan bentuk rambut. Ciri yang penting dan
terutama adlah bawwa mereka mempunyai tradisi yang dirasakan sebagai milik
bersama. Kesadaran bersama akan identita sendiri juga termasuk ciri khas
kelompok masyarakat itu. Lore adalah adat dan khazanah pengetahuan yang
diwariskan turun-temurun lewat tutur kata, melualui contoh, atau perbuatan.
Dengan kata lain, secara umum folklor dapat diberi makana ‘bagian kebudayaan
yang tersebar dan diadakan turun-temurun dengan cara lisan atau dalam bentuk
perbuatan’. Dalam karya sastra, tradisi lisan itu antara lain berupa peribahasa,
teka-teki, dan cerita rakyat (mitos, legenda, dan dongeng). Buah pikiran yang
baik suatu masyarakat pendahulu perlu diselamatkan dan dilestarikan serta dikaji
dengan sungg-sungguh. Siapa pun dapat menyadari bahwa masyarakat dan budaya masa
kini merupakan penerus masyarakat dan budaya masa silam. Folklor, dan sastra
pada umumnya, merupakan mara rantai yang tidak dapat diabaikan jika kita ingin
menelusuri perkembangan suatu bangsa.
Tuntunan Menikmati dan Menilai Puisi
Apa yang perlu kita lakukan dalam memahami dan
menikamti puisi? Jawaban atas pertanyaan berikut dapat dijadikan salah satu
pilihan tuntunan. (1) Apa makna atau tema pada puisi itu? (2) Bagaimana kesan
yang dikandungnya? (3) Bagaimana nadanya? (4) Apakah maksud atau tujuannya? (5)
Bagaimana keselarasan antara keempat unsur itu? (6) Bagaimana diksinya? (7)
Sesuaikah penggunana kata nyata (the concrete word)nya? (8) Tepatkah
penggunaan majasnya? (9) Bagaimana ritme dan rimanya? (10) Bagaimana hubungan
antara hakikat dan metode pendekatan puisi itu? Jika jawaban atas pertanyaan di
atas sudah diperoleh, dapat diakatakan prinsip kritik sastra di bawah ini sudah
terpenuhi. (1) Apa yang hendak dicapai atau dilakukan sang seniman? (2) Baik
atau pantaskah sang seniman melakukan hal itu? Sebelum sampai pada taraf
penikmatan dan penilaian yang dikemukakan di atas, perlu diupayakan langkah awal
berikut. (1) Perlu diupayakan membaca puisi itu dengan suara serta irama yang
tepat sehingga isinya dapat dipahami secara jelas. (2) Perlu diusahakan
memahamai dan mencari makna serta bentuk kalimat, yang sama sekali lain dari
pemakaian biasa, dalam puisi itu. (3) Perlu diusahakan mengenal dan mengetahui
nana orang dan tempat yang terdapat dalam puisi itu. (4) Perlu diperhatikan dan
dipahami satu pers tau majas, kiasan, dan konotasi setiapa kata dalam puisi. (5)
Perlu diusahakan, jika mungkin, mengetahui saat puiisi itu diciptakan dan
angkatan (penzamanan) penyairnya. (6) Perlu diusahakan, jika mungkin, mengetahui
biografi dan falsafah hidup penyair yang melatarbelakangi puisinya. (7) Perlu
dilakukan penceritaan kembali puisi itu dengan kata-kata sendiri.
Teknik Penokohan Cerita Rekaan
Keberhasilan pengarang menyajikan cerita rekaan
atau fiksinya tercermin melalui pengungka[an setiap unsur cerita itu. Salah satu
diantaranya adalah ketepatan pelukisan tokoh cerita. Rupa, pribadi, dan watak
sang tokoh harus tergambar demikian rupa sehingga berterima oleh khalayak ramai.
Dengan cara bagaimanakah pengarang melukiskan tokoh itu? Tentu bergabung pada
imajinasi atau fantasi pengarang sebagaimana terlihat berikut ini. (1) Pengarang
melukiskan secara langsung bentuk lahir tokoh, misalnya raut muka, kepala,
rambut, dan ukuran tubuh. (2) Pengarang melukiskan jalan pikiran tokoh atau apa
yang terlintas dalam pikirannya, misalnya keinginannya menjadi hakim atau
rohaniwan terkemuka. (3) Pengarang melukiskan reaksi tokoh terhadap suaut
kejadian, misalnya ketulusan hati tokoh menyisihkan sepersepuluh gajinya untuk
korban bencana alam yang terjadi di suatu daerah. (4) Pengarang melukiskan
keadaan sekitar tokoh, misalnya keadaan kamar dan pekarangan rumah tokoh. (5)
Pengarang melukiskan pandangan seorang tokoh terhdapa tokoh lain, misalnya tokoh
yang dilukiskannya berwatak keras, sabar, atau suka menolong orang yang ditimpa
kesusahan. (6) Pengarang melukiskan atau menciptakan percakapan (dialog)
antartokoh (bawahan) tentang keadaan, watak, atau pribadi tokoh lain, misalnya
tokoh utama.
Sebuah Teka-teki Saja
Bagi pembaca, sebuah sajak kadangkala dapat
menjadi sebuah teka-teki yang menggemaskan. Menggemaskan karean makna utuh atau
pesan sajak itu kadang-kadang dapat “ditebak”, tetapi seringkali tidak. Kalau
kita dapat menebak makna sejak itu, kita merasa puas dan sekaligus merasa
senang. Sebaliknya, kalau belum dapat menangkap pesan itu, kita merasa
penasaran. Ada dua kategori orang yang merasa penasaran. Kategori pertama adlah
orang yang berpotensi maju, yaitu orang yang dapat memanfaatkan rasa
penasarannya sebagai dorongan menaklukkan setiap tantangan. Kategri yang keuda
adalah orang yang “melempem”, yang tidak tahudan tidak mau tahu terhadap rasa
penasarannya. Dalam hubungan itu, perhatikanlah, misalnya, sajak Eka Budianta
yang berjudul “Stasi Kelima” berikut ini. Di sini anak-anak bangsa diuji Mau
jadi pedagang, tukang pukul atau pegawai asuransi Di sini anak-anak rakyat
jelata ditempa Untuk menantang nasib, menggarap hidupnya Jakarta Bersama ribuan
sopir, pengecer tekstil Pedagang buah, pencatut karcis dan makelar mobil Kuberi
Chris perasaan sukses Seperti seorang direktur pemasaran Insinyur pertanian dan
opsir-opsir di lapangan Kubuat ia tersenyum di pasar, di pentas lumba-lumba Di
kerumunan Lenong dan Topeng Beteawi Bersama para badut yang bersuara lembek Yang
mengemis perhatian ekstra Sebagai bekas jongos dan babu Lalu bicara tentang masa
depan bangsa Memadukan harapan dan mimpi sederhana Dengan jiwa merantau
Minangkabau, Keberanian Bugis, kelugasan Batak, Kearifan Jawa, Keluwesan Bali,
Ketegaran Aceh dan keanggunan Manado Maka jadilah Chris, jadilah Jakarta Jadilah
Chris Jakarta Salah satu ciri sajak adalah bahwa sajak memiliki makan ganda
(multiinterplate). Oleh karean itu, penafsiran Anda sah apabila setelah membca
interpretasi ini, Anda masih penasaran dan ingin menggali sendiri makna yang
lain. Interpretasi macam apa pun sah apabila didukung oleh alasan atau penalaran
yang kuat. Berikut ini salah satu contoh interpretasi sajak di atas. Sajak
Christoper Eka Budianta itu melukiskan tokh Aku (Tuhan) Yang Mahamurah
(Kuberi Chris perasaan sukses) dan Mahakuasa (Kubuat ia
tersenyum…) yang berkisah tentang perjuangan seorang urba (tokoh Chris)
menghadapai kehiudpan Jakarta yang amat keras. Bagi urban, rakyat jelata yang
pap, seperti Chris, supir, pedagang buah, dan pencatut, Jakarta yang keras lebih
banyak mendatangkan tekanan batin daripada kesenangan. Untunglah, Tuhan selalu
dekat dan kasih dengan orang papa. Tuhan menghibur orang papa dengan memberi
harapan dan mimpi. Artinya, Tuhan hany memberi “perasaan” sukses, bukan “sukses”
itu sendiri. Mimpi si Papa itu memang luar biasa, ia bermimpi bagai seorang
eksekutif (direktur pemasara) yang sukses dan manajer operasional
(insiyur pertanian atau opsir) yang jagoan. Lebih hebat lagi, si Papa
itu bermimpi mampu mengatur dan menentukan masa depan bangsa; meampu memadukan
puncak-puncak nilai atau watak kelompok etnik, seperti kearifan Jaw dan
keberanian Bugis. Akhir kisah, jadilah Chris, si Papa itu, Chris Jakarta, Chris
pemimpi, si Papa pemimpi. Sajak Budianta dia atas adlah sebuah ironi. Sajak ini
menyapaikan pesan dengan cara kebalikan, dwngan sindiran kelabu. Dalam realitas,
kaum papa ini memang pemimpi berat. Caoba saj kita amati, orang yang rajin
ber-SDSB adalah orang-orang dari lapisan bawah. Orang-orang ini pada umumnya
memiliki waktu luang, tetapi mereka tidak cukup memiliki kreativitas dan
keterampilan untuk memanfaatkan waktu luang. Tentu cara yang paling ampang untuk
memanfaatkan waktu luang itu adalah bermimpi menjadi jutawn lewat SDSB. Pesan
yang ditawarkan sajak itu jelas, yaitu janganlah menjadi seorang pemimpi.
Hadapilah kehidupan kota Jakarta yang keras ini dengan sikap yang lebih
pragmatis, seperti sikap pedagang. Syuku-syukur kalau sikap pragmatis ini masih
dapat dihiasi denga bunga idealisme. Pesan inilah salah satu jawaban atas
teka-teki sajak “Stasi Kelima” karya Eka Budianta itu. “Stasi Kelima”, yang
artinya penghentian kelima, adalah ajakan kepada kita untuk berhenti sejenak
dalam perjalanan hidup untuk merenung, menilai, dan mencari makna kehidupan
secara mendalam. Renungan atau refleksi ini dapat membebaskan kita dair
kehidupan yang rutin dan dangkal.
Majas sama dengan Gaya Bahasa?
Untuk mengespreksikan pengalaman dan menghidupkan
karangan, kita dapat menggunana majas. Majas itu, secara kaprah, sering disebut
gaya bahasa. Majas bukan gaya bahasa, melainkan bagian gaya bahasa. Anton M.
Moeliono dalam siaran Pembinaan Bahasa Indonesia melalui TVRI mengatakan bahwa
istilah gaya bahasa yang secara salah kaprah itu berasala dari penerjemahan yang
keliru dari kata Belanda stylfiguur. Di dalam kata stylfiguur
terdapat bentuk styl yang memang berarti gaya bahasa, tetapi figuur
lalu terlupakan diterjemahkan. Oleh karena itu, stylfiguur atau
figure of speech ini sekarang kita namakan majas dan figurative
language kitasebut bahasa majasi atau bahasa yang bermajas. Majas ialah
bahasa yang maknanya melampaui batas yang lazim. Hal itu disebabkan oleh
pemakaian kata yang khas atau karena pemakaian bahaas yang menyimpan dari
kelaziman ataupun kareana rumusannya yang jelas. Oleh karena itu, majas erat
kaitannya dengan diksi. Selanjutnya, diksi atau pilihan kata yang tepat akan
memperkuat gaya bahasa. Jadi, majas juga merupakan alat untuk meunjang gaya.
Semakin jelas bahwa majas seperti simile, metafor, personifikasi bukan
gaya bahasa, melainkan salah satu unsur gaya bahasa. Penggunaan macam ragam
majas yang kita kenal dapat kita temukan di dalam bahasa susastra, tetapi yang
akan dicontohkan berikut diambil dari tulisan dalam bahasa umum. Sering kali
kita menemukan iklan di media massa yang bunyinya “Dengan kendaraan seperti ini,
tantangan setangguh apapun mudah terlewati. Sistem power steering,
menjadikan kendaraan perkasa ringan…” (iklan di atas pengungkapannya menggunakan
hiperbol, yaitu penyataan yang berlebih-lebihan). Ungkapan “sebuah panggung
kemelaratan” (Tempo No.34, 1992) menggunakan majas. Metafor menyatkan
hal yang satu sama dengan hal lain yang sesunguhnya tidak sama. Pada ungkapan
“Para buruh bekerja seperti kuda” (Suara Pembaruan, 13 Mei 1992) kita
akan menemukan majas simile, yaitu menyamakan hal yang satu dengan yang
lain menggunakan pembanding seperti : Dua pernyataan berikut mengandung
majas personifikasi, yaitu mempersamakan benda dengan sifat manusia. “Solo lagi
bersolek menghadapi penilaian Adipura” (Suara Pembaruan, 13 Mei 1992)
dan “Bila berahi berkecamuk” (Tempo, No.34, 1992).
Cerita Bidadari dalam Sastra Nusantara
Cerita rakyat yang terdapat di Indonesia banyak
mengandung tema yang terkenal dan tersebar luas. Diantara tema cerita itu,
terdapat tema bidadari mandi yang kehilangan baju layang-layang yang sering
dikenal dengan sebutan “Cerita mengenai Tujuh Bidaari”. Berdasarkan pengamatan
para pakar, tema tersebut merupakan cerita yang paling luas tersebar dan
sekaligus yang paling indah yang pernah dihasilkan oleh alam pikiran manusia.
Benarkah demikian? Sampai berapa luas tema cerit aitu tersebar di Indonesia. Di
mana saja sebenarnya cerita Tujuh bidadari atau yang sering dikenal sebagai
“Jaka Tarub” berada? Karean tergoda oleh pertanyaan-pertanyaan itu, telah dicoba
mencari daerah tempat cerita itu berada. Setelah ditelusuri sumber yang ada,
telah diperoleh sejumlah cerita bidadari, tentu dengan judul yang berbeda. Di
Jawa Tengah cerita tersebut dikenal dengan nama “Jaka Tarub dab Dewi
Nawangwulan”, di Jawa Barat dikenal dengan nama “Sumur Tujuh”, di Madura “Aryo
Menak Kawin dengan Bidadari”, di Bali “Tiga Piatu”, di Kalimantan Selatan
“Telaga Bidadari”, di Sulawesi Tenggara dikenal dengan nama “Oheo”, di Toraja
“Polo Padang”, di Sangir Talaud, “Manusia Pertama di Kepulauan Talaud” dan di
Irian Jaya dikenal dengan nama “Meraksamana dna Saraimana”. Semua naskah yan ada
memang belum dibaca, tetapi dari beberapa makalah dapat diketahui baha tema
tersebut terdapat pula di Aceh, Ternate, Batak, dan Minangkabau. Diyakini bahwa
nama daerah lain dapat ditambahkan dalam daftar ini. Hal itu tentulah akan
menambah data yang makin banyak mengenai penyebaran tema itu di seluruh
Indonesia.
Pantun: Satu Bentuk Sastra Lisan di Nusantara
Pantun, salah satu bentuk sastra lisan, secara
luas dikenal di tanah air kita ini. Hal itu terjadi karena ternayta pantun
terdapat di banyak daerah di Indonesia, tentu dengan nama yang berbeda-beda.
Seperti bentuk sastra lainnya, isi pantun mencakup pelbagai masalah dalam
kehidupan. Misalnya, nasihat, berkasih-kasihan, jenaka, sindiran, agama, dan
segala jenis pengalaman manusia. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa sastra
dapat memperluad dan memperdalam pengalaman kita. Di Aceh misalnya, pantun
menduduki tempat penting dalam upacara ataupun pertemuan tradisional. Masyarakat
Batak menyebut bentuk itu dengan “umpasa”. Misalnya, “Umpasa Ni Simalungun” yang
artinya “Pantun Simalungun” yang merupakan semacam rangakaian pantun. Di dalam
rangkaian ini kita menemukan berbagai nasihat dan sikap orang Simalungun
terhadap pelbagai masalah yang dihadapi manusia sehari-hari. Rupanya orang
Simalungun mempergunakan pantun dalam pelbagai upacara adat. Di Minangkabau,
pantun merupakan satu-satunya bentuk sastra lisan yang dikuasai oleh semua
anggota masyarkat-khususnya masyarakat lamapu. Pantaun telah mendarah daging
dalam kehidupan masyarakat. Pada zaman lampau itu, dapat disebutkan bahwa
seorang Minang itu belumlah dapat dikatakan orang Minang jika tidak pandai
brpantun dan di Tanah Sunda; bentuk itu dikenal dengan nama ‘paparikan”. Di Jawa
Tengah disebut “parikan”. Masyarakt Banjar pun mengenal bentuk itu. Bahkan
pantun di Banjar merupakan bentuk sastra yang penting. Mansayarakat Toraja
menyebut pantun dengan “londe”. Londe ini merupakan puisi asli masyarkat Toraja.
Demikian pula dengan masyarakat Maluku, mereka sangat akrab dengan jenis pantun.
Penyebaran pantun sampai jauh ke bagian timur Indonesia menunjukkan bahwa jenis
ini ternayata sanagt disukai masyarkat Indonesia sejak dulu. Berikut ini
dikutipkan dua buah pantun pendek yang berasal dari Melayu yang memiliki nilai
kehidupan. Gendang gendut Tali kecapi Kenyang perut Senanglah hati Kemumu di
dalam semak Jatuh mealayang selaranya Meski ilmu setinggi tegak Tidak sembahyang
apa gunanya Pantun-pantun tersebut mungkin diciptakan secara lisan puluhan tahun
atau ratusan tahun yang lalu, diwariskan turun-temurun dan kini menjadi harta
milik kita.
Bahasa Sastra dalam Kehidupan Sehari-hari
Sampai sekarang masih sering diperdebatkan orang,
perbedaaan antar bahsa satra dan bahasa sehari-hari. Lepas dari perbedaan itu,
kenyataan menunjukkan bahwa para sastrawan yang berhasil jauh lebih intensif
dalam mempergunakan dan “bermain-manin” dengan bahasa. Bahas dieksploitasi dan
dipermainkan sedemikian rupa sehinga menarik dan mampu mengungkapkan pengalaman
tertentu yang ingin dituangkan sastrawan dalam karyanay. Dalam karya-karya
mereak (penyair, novelis, cerpenis, dan penulis naskah drama), kitaakan
mendapatkan apa yang ad dalam ilmu sastra, khususnya stilistika, disebut sebagai
metafora, personifikasi, hiperbol, ironi, paradoks dan sejenisnya. Dalam novel
dan cerpen-cerpen Putu Wijaya, misalnya personifikasi, paralelisme dan hiperbol
dimanfaatkan cukup intensif sehingga kita, ketiak membaca novel dan
cerpen-cerpen Putu, menjadi terpikat. Apa yang dilakukan oleh parasastrawan
dalam karya-karyanya iru secara tidak sadara atau tidak sadar juga kita lakukan
dalam kehidupan sehari-hari. Iklan-iklan di media massa adalah contoh yang
paling jelas menunjukkan bagaimana masyarakat nonsastra turut serta
“bermain-main” dengan bahasa, “bersastra-sastra”. Dalam pergaulan muda mudi pun
acapkali kita menemukan ungkapan “aku suka rambut kamu” atau “rambut kamu indah”
untk menyatakan ungkaparan “aku suka kamu” atau “kamu manis”. Disini kita
temukan majas pars pro toto (menyebut sebagian dari benda/orang untuk
menyatakan benda/orang itu keseluruhan) yang merupakan bagian dari majas
sinekdoke/sunecdoche. Selain itu, ungkapan “wajahnya manis” ataupun
“pandangan matanya sejuk” merupakan majas metafora. Bahkan ungkpan ironis pun
sering kita denganr, misalnya “Kam uini kok pintar sekali dan sepkerjaan seperti
ini saja tidak bisa kmu selesaikan”, untuk menyatakan “kamu ini bebal”. Sering
kali kita temukan iklan-iklan yang mencoba-coba “bermain-main” dengan bahasa,
tetepi hasilnya “konyol” dan terasa verbal. Iklan-iklan itu termasuk yang gagal
“bermain-main dengan bahas”. Untuk bisa “bermain-main” dengan bahasam kita
barangkali perlu belajar dari para sastraawn dengan membaca karya-karya mereka,
berusaha menikmati dan memahami majas dan gaya yang mereka pergunakan karena
penggunaan majas dan gaya yang tepat akan sangat membantu dalam
mengeksplorasikan secara tepat apa yang ingin kita ungkapkan.
Puisi Konkret
Puisi konkret adalah salah satu jenis puisi
kontemporer (puisi mutakhir, puisi absourd). Puisi seperti ini tidak sepenuhnya
menggunakan bahasa sebagai media. Di dalam puisi konkret pada umumnya terdapat
lambang-lambang yang diwujudkan dengan benda dan/atau gambar-gambar sebagai
ungkapan ekspresi penyairnya. Kapan munculnya puisi konkret
Puisi konkret muncul pada dekade 70-an. Penyair yan pertam kali menciptakan
puisi konket adalah Sutardji Calzoum Bachri. Munculnya puisis jenis ini
dilatarbelakangi oleh adanya kejenuhan penyair di dalam menciptakan puisi
konvensional. Sementar ada pendapat bahwa munculnya puisi konkret ini juga
dipengaruhi oleh adany apersahabatan yang erta antara para penyeir dan para
pelukis. Hal tersebut dapat dilihat dari lahirnya puisi konkret yng berjudul
Luka, karya Sutardji yang dihasilkan kareana adanya pengaruh yang kuat
dari seni lukis. Bagaimana memeahami puisi konkret? Sebenarnya
tidak ada cara-cara atau metode yang tepat dalam memeahami sebuah puisi
(termasuk puisi konkret). Pemahaman sebuah puisi konkret sepenuhnya diserahkan
kepad penikmatnya karena puisi ini tidak semata-mata bergantung pada unsur-unsur
bahasa. Ada banyak unsur sebagai penunjang. Sebagaimana dalam puisi
Luka, Sutardji menekspresikan gagasan ke dalam sebuah papan empat
persegi panjang yang di tengahnya dipasang segumpaal daging segar dengan darah
yang masih mengucur. Di bawah benda itu tertulis kata luka,… ha,.. ha.
Jik akita melihat bentuk puisi seperti ini, imaji akita akan terbawa ke
dalamsuasana yang tegang, penuh kejutan dan kengerian. Kata luka yang terdapat
dalam puisi itu akan membawa kita kepad esuasut uyang menyedihkan hati. Akan
tetapi, di dalam memamahmi puisis seperti itu cukupkah demikian? Tentu saja
tidak. Kita harus mampu menggunakanpenalaran dalam memahaminya agar dapat
menangkap pesan yang ingin disampaikan si penyair. Datrah yang mengucur
dikonkretkan gambar luka yang akan menimbulkan rasa perih, pedih, dan nyeri bagi
semua orang yan gmenyandangnya. Pelambangan teresbut dimaksudkan bahwa
sebenarnya hidup kita penuh penderitaan. Sementara itu, pada bagian lain kita
membaca tulisan luka,.. ha.., tepat di bawah benda yang diapsang di
papan. Hal tersebut enyiratkan adanya seseuatu yang kontradiktif. Sesuatu yang
kontradiktif itu dapat diintepresentasikan sebagai berikut. Di satu sisi,
penyair ingin menyampaikan pesan bahwa seseorang yang menyandang “luka” itu akan
merasa perih, pedih, dan menderita. Di sisi lain, penyair ingin menegeaskan
“lika” disandang itu tidak harus dianggap sebagai sesuatu yang menyengsarakan,
sesuatu yang membuat orang menderita karenya. Dengan kata lain, seseorang yang
menyandang “luka” janganlah larut dalam kesedihan dan penderitaan, tetapi ia
harus dapat mengantisipasi “luka” itu secara tegar dengan hati yang gembira,
tidak cengeng. Semoga dengan pemahaman seperit itu, kita akan memperoleh nilai
kenimkatan dari karya sastra yang dapat menambah wawasan hidup kita.
Citraan dalam Puisi
Puisi termasuk bentuk (genre) karangan
sastra sebagaimana prosa dan drama. Banyak orang yang menyamakan pengertian
puisi dan sajak, padahal tidak sama. Puisi adalah istilah umum, misalnya puisi
perjuangan, sedangkan sajak mengacu pada salah satu ciptaan seperti Kerawang
Bekasi. Penyair memiliki bebrapa kiat agar puisi atau sajaknya mudah
dicerna oleh pembaca atau penikmatny. Untuk itu, penyair acapkali menampilkan
citraan (imagery) atau gambaran angan-angan dalam sajaknya. Melalui
citraan, para penikma sajak akan memperoleh gambaran yang jelas, suasana khusu,
atau gambara nyang menghidupkan alam pikiran dan perasaan penyairnya. Pendeknya,
citraan merupakan gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menciptakannya.
Gambaran angan itu ada kalanya dihasilkan oleh indria penglihatan. Citraan yang
ditimbulkannya disebut citraan lihatan. Gambaran yang dihasilkan indra
pendengaran dinamai citraan dengaran, dan citraan yang dimunculkan oleh indria
penciuman diberi nama citraan bauan. Demikian seterusnya untuk penyebutan
citraan rabaan, cecapan, dan gerakan. Dapatkah dirasakan citraan yang terpantul
melalui kutipan sajak Amir Hamzah di bawah ini? Nanar aku gila sasar Sayang
berulang padamu jua Engkau pelik menarik ingin Serupa dara di balik tirai Dari
sekian jenis citraan yang disebutkan, tampaknya citraan lihatanlah yang terasa
dalam sajak di atas. Perhatikanlah larik keempat, serupa dara di balik
tirai. Tidakkah terasa sesuatu yang merangsang indria penglihatan? Artinya,
dalam angan seolah-olah jelas tampak seorang wanita rupawan yang mengintai dari
balik tirai.
Mengenal Proses Kreatif Seorang Pengarang
Seorang pengarang—cerpen, novel, puisi,
drama—kaya akan berbagai pengalaman. Pengalaman yang ada di dalam dirinya itu
makin lama makin menumpuk dan mengendap di dalam batinnya. Beberapa pengalaman
yang dimiliki oleh seorang pengarang inilah yang selanjutnya dituangkan ke dalam
bentuk-bentuk tulisan dan karya agar dapat sampai dan dinikmati para pembacanya.
Seorang sastrawan atau pengarang selalu berkeinginan untuk menularkan berbagai
pengalaman yang dirasakannya kepada pembacanya. Ia menginginkan agar pembaca
mampu memahami dan bahkan menghayati segala yang telah tertuang dalam karya
ciptaanya itu. Pembaca diajak untuk merasakan apa yang pernah dirasakan si
pengarang memlalui karya yang diciptakannya. Tirani
dan Benteng Kumpulan sajak Tirani dan Benteng, karya
Taufik Ismail, misalnya, adalah sebuah kumpulan sajak yang diciptakan Taufik
berdasarkan pada pengalaman-pengalaman yang dirasakannya selama menjelang dan
permulaan Orde Baru. Pada saat itu Taufik Ismail melihat dan merasakan berbagai
kejadian yang menurutnya, terlalu memprihatinkan dan menyedihkan. Ketidakadilan,
kelaliman, dan tindak kekecaman penguasa kepada rakyat kecil terjadi di
mana-mana. Kehidupan rakyat kecil menjadi makin sengsara dan menderita. Berbagai
aksi dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi
KAPPI/KAMI untuk menentang kebijakan pemerintah yang dirasa sangat
sewenang-wenang. Rekaman peristiwa itu oleh Taufik Ismail dituangkannya kembali
ke dalam bentuk karya sastra, berupa puisi atau sajak. Kita lihat kutipan sajak
berikut. Karangan Bunga Tiga anak kecil Dalam langkah malu-malu datang
ke Salemba sore itu ‘Ini dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga sebab
kami ikut berduka Bagi kakak yang ditembak mati Siang tadi Salemba Alma Mater,
janganlah bersedih Bila arakan ini bergerak pelahan Menuju pemakaman Siang ini
Anakmu yang berani Telah tersungkur ke bumi Ketika melawan tirani Sajak diatas
menggambarkan suasana duka ketika seorang mahasiswa Arief Rahman Hakim, 23
Tahun, mahasiswa Fakultas Kedokteran Tingkat IV, Universitas Indonesia, mati
tertembak di depan Istana Negara pada tanggal 25 Februari 1966.
Apakah ciri sastra yang baik?
Dalam memilih karya sastra sebagai bahan bacaan,
tentu kita harus selalu mengupayakan yang terbaik. Untuk itu, kita perlu
mengetahui setidaknya tiga macam norma atau nilai yang menjadi cirinya, yaitu
norma estetika, sastra, dan moral. Norma Estetika
Pertama, karya itu mampu menghidupkan atau memperbarui pengetahuan
pembaca, menuntunya melihat berbagai kenyataan kehidupan, dan memberikan
orientasi baru terhadap apa yang dimiliki. Kedua, karya sastra itu
mampu membangkitkan aspirasi pembaca untuk berpikir dan berbuat lebih banyak dan
lebih baik bagi penyempurnaan kehidupannya. Ketiga, karya sastra itu
mampu memperlihatkan peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, atau politik masa
lalu dalam kaitannya dengan peristiwa masa kini dan masa datang. Itulah sebabnya
pengalaman (batin) yang diperoleh pembaca dari karya sastra yang dibacanya
disebut pengalaman estetik. Norma Sastra Pertama,
karya itu merefleksi kebenaran kehidupan manusia. Artinya, karya itu membekali
pembaca dengan pengetahuan dan apresiasi yang mendalam tentang hakikat manusia
dan kemanusiaan serta memperkaya wawasannya mengenai arti hidup dan kehidupan
ini. Kedua, karya itu mempunyai daya hidup yang tinggi, yang senantiasa
menarik bila dibaca kapan saja. Ketiga, karya itu menyuguhkan
kenikmatan, kesenangan, dan keindahan karena strukturnya yang tersusun apik dan
selaras. Norma Moral Karya sastra disebut memiliki norma moral
apabila menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai kehidupan yang
berlaku. Nilai keagamaan yang disajikan, misalnya, harus mampu memperkukuh
kepercayaan pembaca terhadap agama yang dianutnya.
Sekadar Anda Tahu
Istilah adalah kata atau gabungan kata yang
mengungkapkan suatu makna konsep, proses, keadaan, atau sifat khas dalam bidang
tertentu. Dalam khazanah sastra, kasidah, katarsis, dan
karmina, termasuk golongan istilah. Kasidah Sajak yang
berasal dari Arab dan Parsi itu terdiri atas 30 sampai dengan 120 larik. Isinya
berupa pujian terhadap Tuham Yang Maha Kuasa,Nabi, atau pujian terhadap orang
kenamaan. Kasidah termasuk tradisi kebudayaan pesantren, misalnya kasidah
Barzanji. Setelah itu, kasidah berkembang penyajiannya diiringi dengan
musik modern atau musik populer, disebut kasidah modern.
Katarsis Rasa pembebasan dan pemurnian jiwa seseorang setelah
mengalami ketegangan pada suatu klimaks. Pemurnian jiwa ini dapat dialami oleh
setiap orang seusai menyaksikan dan menikmati suatu karya sastra, misalnya
adegan tragis dalam lakon tragedi. Karmina Istilah ini lazim
pula disebut pantun kilat. Bentuk sastra lama ini terdiri atas dua larik atau
berupa penyederhanaan bentuk pantun. Rimanya aa. Larik pertama disebut sampiran,
sedangkan larik kedua disebut isi. Contoh: Sudah ganaru cendana pula
Sudah tahu bertanya pula
Drama Tradisional
Drama merupakan suatu kegiatan alamiah yang
muncul dalam kehidupan kita. Asal mulanya sejak manusia bereaksi terhadap
kehidupan dan lingkungannya. Kemudian, drama atau teater tradisional menjadi
bagian dari kenyataan kesenian kita, misalnya, makyong dan
mendu (Riau), randai dan bakaba (Sumatera Barat),
topeng prembon dan topeng arja (Bali), mamanda dan
tatayung (Kalimantan), ludruk dan kentrung (Jawa
Timur), encling dan srandul (Jawa Tengah), lenong dan
topeng betawi (Jakarta), serta sanreli (Sulawesi).
Dagelan Pergelaran ini sejenis komedi yang intinya terlihat
pada kemampuan pemain menciptakan, secara tepat, suasana lucu. Kelucuan itu
kerap tercipta karena perilaku atau banyolan pemainnya, misalnya,
dengan “memelesetkan” lidah ketika menyebutkan nama seseorang.
Wayang Dalang, yang memainkan pertunjukan ini, menggerakkan
boneka atau sejenisnya. Ciri khasnya tidak berubah dari zaman nenek moyang
sampai zaman anak cucu kita yakni unsur filsafat hidup serta tata nilai budaya
yang diragakan sang dalang. Ceritanya sebagian besar bersumber pada epos
Ramayana dan Mahabarata. Topeng Betawi
Pemeran topeng betawi dinamai panjak, pemimpinnya disebut kepala panjak, dan
awal permainannya ditandai tetalu (gamelan). Dialog antar pemain merupakan sumbu
pemancing tawa penonton. Biasanya pemain bertopeng muncul pada bagian penutup
cerita. Jalannya berlenggang-lenggok mengikuti irama gamelan. Bicaranya meluncur
lancar tentang berbagai hal. Yang disajikan dalam kesenian ini adalah cerita
rakyat dan cerita rekaan baru.
Sekadar Anda Tahu
Sejarah sastra Indonesia modern menurut tradisi
dimulai dari masa Balai Pustaka. Peristiwa itu ditandai dengan terbitnya karya
sastra modern pertama dalam bentuk roman atau novel. Judulnya Azab dan
Sengsara Seorang Gadis, karya Marari Siregar pada tahun 1920. Jadi,
usia sastra kita boleh dikatakan baru berjalan 73 tahun. Hingga pada dekade
1970an, Jakob Sumardjo (1983) mencatat jumlah karya dan sastrawan kita sebagai
berikut. Hasil Karya dan Pengarang Kenyataan menunjukkan bahwa
sastrawan kita telah berhasil menulis sekitar 1.335 karya sastra yang berupa
kumpulan cerpen, kumpulan puisi, roman atau novel, drama, terjemahan sastra
asing dan kritik, serta esai sastra. Tercatat juga 237 nama sastrawan yang
pentin. Hampir setengah dari jumlah mereka menulis puisi (49,3%), cerpen
(47,6%), novel (36%), esai (23,2%), drama (18,9%), dan sisanya penerjemah serta
penulis kritik sastra. Novel Khusus novel setidaknya
diterbitkan 227 buah. Jumlahnya perdekade tercatat seperti berikut tahun 1920-an
20 novel, tahun 1930-an 55 novel, tahun 1940-an 19 novel, tahun 1950-an 34
novel, tahun 1960-an 42 novel, dan tahun 1970-an 57 novel. Perihal
Sastra Masa Pra-Balai Pustaka Hasil amatan Claudine Salomn (1985)
menyatakan bahwa sastra kaum pernakan Tionghoa dalam bahasa Melayu Rendah di
Indonesia tercatat 806 nama sastrawan Tionghoa yang telah menulis 3.005 buah
karya sastra yang berupa drama (dalam bentuk buku), 183 syair, 1.396 roman dan
cerpen asli, 233 terjemahan sastra Barat, dan 759 terjemahan sastra Cina.
Produksi sastra yang lur biasa besarnya itu membentang hampir satu abad
(1870—1960-an).
Intertekstual dalam Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan salah satu bagian dari
folklor. Pada umumnya, cerita rakyat hanya berbentuk cerita lisan yang
diwariskan secara turun temurun. Dalam perkembangannya, cerita rakyat yang
semula berupa tradisi lisan berubah menjadi tradisi tuli. Indonesia yang teridir
atas ribuan pulau dengan sendirinya kaya akan cerita rakyat. Dilihata dari
khazanah cerita rakyat yang ada, tampak ada kesamaan bentuk penceritaan anta
cerita rakyat daerah yang satu dan daerah yang lain. Yang membedakan hanyalah
versi dan awrna loka daerah masing-masing. Oudiphus Kompleks
Kisah perjalanan cinta seorang anak yang mengawini ibunya tidak hanya terdapat
dalam cerita Oudiphus, karya William Shakespeare. Cerita rakyat di
Indonesia pun sudah lama mengenal cerita semacam itu. Di Jawa, misalnya, ada
cerita Watugunung, di Sunda cerita Sangkuriang, di Jambi
cerita Perpatih Nan Sebatang, yang mengisahkan perkawinan seorang anak
dengan ibunya. (Dalam cerita Perpatih Nan Sebatang, versinya agak lain,
yaitu perkawinan seorang kakak dengan adiknya), Jalinan cinta keduanya
disebabkan oleh ketidaktahuan setelah lama berpisah. Namun, rahasia itu
tersingkap. Perkawinan merek terpaksa harus gagal setelah pada suatu hari sang
putir melihat tanda pitak bekas di kepala pujannya itu. Hal tersebut
mengingatkan akan kejadian masa silam yang menyebabkan perpisahan mereka.
Tahulah ia bahwa sebenarnya suaminya itu bukanlah orang lain. Ia masih darah
dagingnya sendiri. Kawin dengan Bidadari Cerita rakyat yang
lain, yang mempunyai kesamaan penceritaan, ialah kisah perkawinan seorang pemuda
desa dengan bidadari (peri). Di Jawa cerita Jaka Tarub mengisahkan
seorang pemuda (Jaka Tarub) yang sedang berburu di tengah hutan tiba-tiba
melihat tujuh bidadari yang sedang mandi di telaga. Secara iseng Jaka Tarub
menyembunyikan pakaian salah satu bidadari itu. Sang bidadari (Nawangwulan)
tidak dapat terbang pulang ke kahyangan karena bajunya hilang. Ia ditinggal oleh
saudara-saudaranya di tengah sendirian. Akhirnya, Nawangwulan bertemu dengan
Jaka Tarub dan keduanya kawin. Kisah semacam itu juga terdapat di bebrapa daerah
di Indonesia, di antaranya cerita Sumur Tujuh, cerita rakyat dari Jawa
Barat; Oheo, cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara, Tiga Pitu,
cerita rakyat dari Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar